1
Audit Investigatif
Sebelum
memulai suatu investigasi, pimpinan atau lembaga perlu menetapkan apa yang
sesungguhnya ingin dicapai dari investigasi itu. Investigasi merupakan proses
yang panjang, mahal, dan bisa berdampak negative terhadap perusahaan atau stakeholdersnya.
Proses
yang panjang dan lama, diikuti dengan banyaknya pihak (baik intern maupun
ekstern) yang terlibat atau dilibatkan, menyebabkan investigasi itu menjadi
mahal. Perusahaan juga harus menyediakan banyak sumber daya atau harus
meng-commit sumber daya yang akan disediakan.
Reputasi
perusahaan juga bisa hancur kalau pengungkapan investigasi ini tidak
dikomunikasikan dengan baik. Contoh: obat yang sudah kadaluarsa dan seharusnya
dihancurkan, justru dijual oleh pegawai bagian gudang. Kecurangan ini dapat
menjadi bencana bagi konsumen. Namun kalau hasil investigasi dikomunikasikan
dengan baik, maka hubungan antara perusahaan dan konsumen (atau stakeholders
lainnya) justru dapat mencegah hancurnya reputasi perusahaan.
Karena
itu, tujuan dari suatu investigasi harus disesuaikan dengan keadaan khusus yang
dihadapi,dan ditentukan sebelum investigasi dimulai.
Tujuan Investigatif:
Dibawah ini
disajikan bermacam-macam alternative mengenai tujuan investigasi:
1.
Memberhentikan manajemen. Tujuan utamanya adalah
sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggung jawabkan
kewajiban fidusiernya. Kewajiban fidusier ini termasuk mengawasi dan mencegah
terjadinya kecurangan oleh karyawannya.
2.
Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukupnya dan
relevannya bukti. Tujuan ini akan menekankan bisa diterimanya bukti-bukti
sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan. Konsepnya adalah
forensic evidence, dan bukan sekedar bukti audit.
3.
Melindungi reputasi karyawan yang tidak bersalah.
Misalnya dalam pemberitaan di media masa bahwa karyawan di bagian produksi
menerima uang suap. Tanpa investigasi, reputasi dari semua karyawan dibagian
produksi akan tercemar. Investigasi mengungkapkan siapa yang bersalah. Mereka
yang tidak bersalah terbebas dari tuduhan (meskipun perguncingan seringkali
tetap tidak terhindari).
4.
Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk
investigasi. Banyak bukti dalam kejahatan keuangan berupa dokumen. Kalau banyak
dokumen disusun untuk menyembunyikan kejahatan, atau kalau dokumen ini dapat
memberi petunjuk kepada pelaku dan penanggung jawab kecurangan, maka tujuan
dari investigasi ini adalah menjaga keutuhan dokumen. Ruang kerja harus
diamankan, tidak boleh ada orang masuk keluar tanpa izin, dokumen harus
diindeks dan dicatat.
5.
Menemukan asset yang digelapkan dan mengupayakan
pemulihan dari kerugian yang terjadi. Ini meliputi penelusuran rekening bank,
pembekuan rekening, izin-izin untuk proses penyitaan dan atau penjualan asset,
dan penentuan kerugian yang terjadi.
6.
Memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang
diduga menjadi pelaku kejahatan, mengerti kerangka acuan dari investigasi
tersebut; harapannya adalah bahwa mereka bersedia bersikap kooperatif dalam investigasi itu. Tehnik
pelaksanaannya adalah dengan “dengar pendapat orang terbuka” yang menghadirkan
orang luar sebagai panelis. Orang luar ini biasanya orang terkemuka dan
terpandang. Hal ini umumnya dilakukan apabila “operasi tertutup dan rahasia”
(covert operations) gagal mengungkapkan kecurangan yang berdampak luas.
7.
Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari
perbuatannya. Ada dua versi dari pendekatan ini. Pertama, lakukan penuntutan
tanpa pandang bulu, berapapun besar biayanya, siapapun pelakunya (penjahat
besar maupun kecil). Hal ini akan mengirimkan pesan kepada seluruh karyawan dan
pihak luar, bahwa perusahaan atau lembaga itu serius dalam mengejar si
penjahat. Kedua, kejar si penjahat untuk mengembalikan dana atau asset yang
dicurinya, dan kemudian minta dia mengundurkan diri atau diberhentikan. Pendekatan
kedua, lebih “tenang”, tak ada gembar-gembor.
8.
Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan. Seperti
pada butir diatas, tujuan utamanya adalah menyingkirkan “buah busuk” agar “buah
segar” tidak ikut busuk. Pendekatannya adalah pendekatan disiplin perusahaan.
Pembuktian terhadap tindak kejahatan ini mungkin tidak akan lolos disidang
pengadilan. Tapi pembuktian disini diarahkan kepada penerapan peraturan intern
perusahaan.
9.
Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran
penjarahan. Kecurangan menggerogoti sumber daya perusahaan, dan umumnya
pemulihan kerugian ini tidak ada atau sangat sedikit. Pendekatan ini
menghentikan kerugian lebih lanjut dan menutup celah-celah peluang (loopholes)
terjadinya kejahatan.
10. Menentukan
bagaimana investigasi akan dilanjutkan. Apakah investigasi akan diperluas atau
diperdalam, atau justru dibatasi lingkupnya. Kadang-kadang suatu investigasi
dilaksanakan secara tentative atau eksploratif dan bertahap. Dalam investigasi
ini laporan kemajuan memungkinkan evaluasi, apakah kita akan melanjutkannya dan
kalau ya, bagaiman lingkupnya.
11. Melaksanakan
investigasi sesuai standar, sesuai dengan peraturan perusahaan, sesuai dengan
buku pedoman. Tujuan semacam ini biasanya didasarkan atas pengalaman buruk.
Dimasa lalu, misalnya, tujuan dari pada investigasi adalah untuk menangkap
pelakunya. Ketika investigasi dilakukan secara gencar, investigasinya
“kebablasan” dan pelaksanaannya melanggar ketentuan.
12. Menyediakan
laporan kemajuan secara teratur untuk membantu pengambilan keputusan mengenai
keputusan mengenai investigasi ditahap berikutnya. Banyak investigasi bersifat
iterative, artinya suatu investigasi atas dugaan kejahatn menghasilkan temuan
baru yang melahirkan dugaan tambahan atau suatu dugaan baru. Investigasi
pertama diikuti dengan investigasi berikutnya, dan seterusnya, secara iterative
memperluas pemahaman invstigator mengenai berapa dalamnya masalah yang
dihadapi. Konsultasi, diskusi, dan presentasi dari temuan-temuan secara
berkala(mingguan, misalnya), merupakan ciri khas dari pendekatan ini.
13. Memastikan
pelakunya tidak melarikan diri atau menghilang sebelum tindak lanjut yang tepat
dapat diambil. Ini biasanya merupakan tujuan investigasi dalam hal pelaku
tertangkap tangan seperti dalam kasus pencurian di supermarket. Umumnya kejahatan
ditempat kerja tidak memiliki cirri kasus ini karena karyawan dikenal atau
mempunyai identitas yang disimpan dalam pencatatan perusahaan. Tetapi dalam
kejahatan tertentu, misalnya penggelapan uang yang melibatkan pihak-pihak
diluar perusahaan, pendekatan ini sangat tepat.
14. Mengumpulkan
cukup bukti yang dapat diterima pengadilan, dengan sumberdaya dan terhentinya
kegiatan perusahaaan seminimal mungkin. Pendekatan ini berupaya mencari
pemecahan yang optimal dalam kasus yang terjadi.
15. Memperoleh
gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan membuat keputusan yang
tepat mengenai tindakan yang harus diambil. Hasil investigasi seringkali
ditindaklanjuti secara emosional. Kalau karyawan itu disukai oleh atasan atau
rekan sekerjanya, pimpinan cenderung “memaafkan” perbuatannya dan tidak
memaanfaatkan peluang untuk memperbaiki sistem yang berhasil “dijebolnya”.
Sebaliknya, kalau pimpinan atau rekan sekerjanya tidak menyukai si pelaku
kecurangan, pimpinan cenderung menghukumnya seberat-beratnya. Kedua sikap tadi
akan merugikan perusahaan. Dengan memperoleh gambaran yang layak (fair) maka
pimpinan secara sadar membuat keputusan tentang siapa yang melakukan
investigasi (harus seorang professional) dan bagaimana tindaklanjutnya.
16. Mendalami
tuduhan (baik oleh orang dalam atau luar perusahaan, baik lisan maupun tertulis
baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng) untuk menanggapinya
secara tepat. Investigasi yang didasarkan pada tujuan ini, tidak akan menelan
mentah-mentah “fakta” yang diajukan dalam tuduhan itu. Fokusnya adalah pada
konteks tuduhan itu apakah tuduhan itu
akan dianggap serius.
17. Memastikan
bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik. Hal ini sangat penting ketika
morale kerja merupakan kunci keberhasilan dalam perusahaan atau tim kerja.
18. Melindungi
nama baik perusahaan atau lembaga. Tujuan dari investigasi ini tentunya bukan
untuk melindungi lembaga yang sebagian besar memang sudah korup. Kalau tujuan
ini ditetapkan dalam kondisi semacam ini, maka yang tejadi adalah
persekongkolan jahat atau kolusi. Tujuan investigasi diatas sangat tepat
apabila kejahatan dilakukan oleh segelintir orang, padahal reputasi perusahaan
secara keseluruhan terancam.
19. Mengikuti
seluruh kewajiban hokum dan mematuhi semua ketentuan mengenai due diligence dan
klaim kepada pihak ketiga (misalnya klaim asuransi).
20. Melaksanakan
investigasi dalam koridor kode etik. Kita umumnya menyadari akan perlunya
ketentuan perundang-undangan dipatuhi, dan konsekuensi terhadap pelanggarannya.
Namun, lebih sulit mengikuti kewajiban etika. Dalam situasi dimana pelaku
kecurangan “pasrah”, ia seringkali mengikuti kehendak sang investigator. Dalam
kondisi seperti ini, si investigator lupa akan kode etiknya, sekedar karena
pada saat itu si “terduga” tidak mempertanyakan sikap dan tingkah si investigator.
Seringkali kepasrahan si “terduga” diikuti dengan arogansi si investigator,
menyuburkan praktek-praktek pelanggaran
kode etik. Dengan menetapkan tujuan investigasi ini, perusahaan ingin
memastikan bahwa investigator senantiasa mengikuti kode etik yang sudah
ditetapkan.
21. Menentukan
siapa pelakunya dan mengumpulkan bukti mengenai niatnya. Prakarsa ini bermaksud
untuk menyeret si pelaku ke pengadilan pidana, misalnya pengadilan tindak
pidana korupsi. Karena itu, perlu pengumpulan bukti yang cukup untuk proses
penyidikan yang diikuti dengan penuntutan
dan selanjutnya proses pengadilan. Dengan demikian, seluruh daya
dikerahkan disertai publisitas penuh, yang sangat sejalan dengan kebijakan
“tanpa ampun” (zero-tolerance policy).
22. Mengumpulkan
bukti yang cukup untuk menindak pelaku dalam perbuatan yang tidak terpuji. Ini
serupa dengan tujuan dalam butir 21 diatas, dengan perbedaan bahwa butir ini
diproses melalui ketentuan administrative atau perdata.
23. Mengidentifikasi
praktek manajemen yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau perilaku yang
melalaikan tanggung jawab. Seorang karyawan dibagian pengadaan berkolusi dengan
pemasok. Hal ini memungkinkan karyawan memperkaya dirinya sendiri, yang
dipakainya untuk pembelian property mewah. Investigasi dilakukan dalam dua
tahap. Tahap pertama diarahkan kepada pelaku. Sedangkan tahap kedua, kepada
atasannya. Tahap kedua ingin menjawab pertanyaan: Mengapa atasannya tidak
melihat petunjuk awal (anak buah bertambah kekayaan dalam jangka waktu pendek),
ataukah sekurang-kurangnya mewawancarai anak buahnya. Tujuan investigasi dalam
butir ini adalah untuk tahap kedua tadi.
24. Mempertahankan
kerahasiaan dan memastikan bahwa perusahaan atau lembaga ini tidak terperangkap
dalam ancaman tuntutan pencemaran nama baik. Gaya kerja” serbu dan tangkap”
atau “tangkap dulu, jelaskan kemudian” seringkali rawan terhadap kemungkinan
perusahaan dituntut. Karena itu, tujuan investigasi ini harus jelas dan
ditegaskan sebelum investigasi dilakukan.
25. Mengidentifikasi
saksi yang melihat atau mengetahui terjadinya kecurangan dan memastikan bahwa
mereka memberikan bukti yang mendukung tuduhan atau dakwaan terhadap sipelaku.
Tujuan ini berkaitan dengan petunjuk bahwa sipelaku mengidentifikasi
orang-orang yang secara potensial bisa menjadi saksi, baik dalam proses
penyidikan maupun dalam sidang pengadilan. Perlindungan terhadap para saksi ini
dapat mendorong mereka memberikan keterangan, petunjuk, atau bukti yang
diperlukan.
26. Memberikan
rekomendasi mengenai bagaimana mengelola risiko terjadinya kecurangan ini
dengan tepat. Dalam jangka panjang, manajemen risiko yang baiklah yang akan
mencegah atau mengurangi terjadinya kecurangan.
Dari
contoh-contoh diatas, terlihat berbagai tujuan dalam melakukan suatu
investigasi. Istilah investigasi dalam penggunaan sehari-hari, memberi kesan
seolah-olah hanya ada satu jenis. Jenis yang kita kenal umumnya adalah dalam
konteks tindak pidana korupsi. Tujuan akhirnya, menjebloskan koruptor ke
penjara dan atau mendapatkan kembali sebagian atau seluruh hasil jarahannya.
Pemilihan di antara berbagai
alternative tujuan investigasi, tergantung dari organisasi atau lembaganya
serta mandate yang dipunyainya, jenis dan besarnya kecurangan, dan budaya di
lembaga tersebut. Tanggung jawab untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam
suatu investigasi terletak pada pimpinan.
Investigatif
Pengertian
investigasi dan pemeriksaan fraud digunakan silih berganti sebagai sinonim.
Idealnya ada kesamaan makna konsep-konsep auditing dan hukum; namun, dari ssegi
filsafat auditing dan filsafat hukum,hal itu tidaklah mungkin.
Ada sebab lain kenapa harmonisasi
antara konsep-konsep hukum dan auditing tidak dapat berjalan. Hukum Indonesia,
khususnya hukum pidana dan hukum secara pidana, masih berasal dari hukum
Napoleonic. Sedangkan konsep-konsep akuntansi dan auditing kita adopsi dari
Amerika Serikat. Karena perbedaannya yang penting antara konsep-konsep auditing
dan hukum, pemeriksa fraud perlu memahami kedua-duanya.
Dalam filsafat auditing kita
mengenal konsep due audit care, prudent auditor, seorang professional yang
berupaya menghindari tuntutan dengan tuduhan teledor (negligent) dalam
melaksanakan tugasnya. Untuk itu, pemeriksa fraud atau investigator perlu
mengetahui tiga aksioma dalam pemeriksaan fraud.
Suatu investigasi hanya dimulai apabila
ada dasar yang layak, yang dalam investigasi dikenal sebagai predication.
Dengan landasan atau dasar ini, seorang investigator mereka-reka mengenai apa,
bagaimana, siapa dan pertanyaan lain yang diduganya relevan dengan pengungkapan
kasusnya: ia membangun teori fraud (fraud theory).
Investigasi secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai upaya pembuktian. Umumnya pembuktian ini berakhir di
pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku.
Aksioma Dalam Investigatif
Dalam
melakukan investigasi ada beberapa aksioma. Aksioma adalah asumsi dasar yang
begitu gamblangnya sehingga tidak memerlukan pembuktian mengenai kebenarannya.
Tapi jangan remehkan “kegamblangannya”. Pemeriksa yang berpengalaman pun
menghadapi kesulitan ketika ia mengabaikan aksioma-aksioma ini.
Ada tiga aksioma dalam pemeriksaan
fraud, yang dibahas berturut-turut dibawah. Ketiga aksioma ini berkenaan dengan
sifat fraud yang tersembunyi, pembuktian tentang fraud yang dilakukan secara
timbal balik, dan terjadinya fraud semata-mata merupakan kewenangan pengadilan
untuk memutuskannya.
Fraud selalu tersembunyi –
Berbeda dengan kejahatan lain, sifat
perbuatan fraud adalah tersembunyi atau mengandung tipuan (yang terlihat di
permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi atau berlangsung). Bayangkan sejenak
perampokan bank yang dilakukan segerombolan penjahat. Mereka masuk ke lobby
bank, menodongkan senjata api kepada teller (juru bayar) dan manajer bank,
minta para teller mengisi kantong-kantong mereka dengan uang dan barang
berharga lain yang ada dalam kasanah
(vault,kluis), kemudian meninggalkan bank dengan kecepatan tinggi. Semuanya
disaksikan oleh pelanggan bank yang sedang atau akan bertransaksi.
Bandingkan adegan tadi dengan adegan
lain di mana kepala cabang suatu bank besar memfasilitasi “pelanggannya” dengan
membuka L/C fiktif atau memberikan kredit bodong yang segera menjadi NPL
(non-performing loan). Dalam adegan kedua, terjadi dua scenario. Skenario
pertama yang terjadi di permukaan, seolah-olah ini transaksi normal antara
banker dan pelanggan “terhormat”. Transaksi ini didukung dengan segala macam
berkas resmi dari perusahaan sang pelanggan, bank, notaries, kantor akuntan,
pengacara, bermacam-macam legitimasi (termasuk surat-surat keputusan dari lurah
sampai petinggi Negara lainnya) dan entah berkas apalagi. Dalam scenario kedua,
pihak-pihak yang terlibat menutup rapat-rapat kebusukan mereka; penyuapan
aparat penegak hukum dan instansi lain merupakan biaya penutup kebusukan ini.
Kedua scenario ini tidak terpisah, satu menguatkan yang lain dalam jalinan ayau
packaging yang rapi. Karena itu, dirigennya juga mempunyai nama terhormat,
arranger.
Adegan pembobolan pertama (oleh
perampok) terlihat kasar dan kasat mata. Adegan pembobolan kedua (oleh kelompok
yang disebut atau menamakan diri mereka “professional”) terlihat bersih; karena
bagian yang kotor sudah tersembunyi dlam pembungkusan atau packaging yang rapi.
Metode pembungkusannnya begitu rapi
sehingga pemeriksa fraud atau investigator yang berpengalaman sekalipun
seringkali terkecoh. Karena itu pemeriksa fraud atau investigator harus menolak
memberikan pernyataan bahwa hasil pemeriksaannya membuktikan tidakada fraud.
Pernyataan yang mengandung risiko yang sangat besar. Fraud tersembunyi (atau
lebih tepat,”disembunyikan”), fraud dibungkus rapi.
Pembuktian Fraud Secara Timbal-Balik –
Pembuktian
ada atau telah terjadinya fraud meliputi upaya untuk membuktikan fraud itu
tidak terjadi. Dan sebaliknya, untuk membuktikan fraud tidak terjadi, kita
harus berupaya membuktikan fraud itu terjadi harus ada upaya pembuktian timbale
balik atau reverse proof. Kedua sisi fraud (terjadi dan tidak terjadi) harus
diperiksa. Dalam hukum Amerika Serikat, “proof of fraud must preclude any
explanation other than guilt” artinya pembuktian fraud harus mengabaikan setiap
penjelasan, kecuali pengakuan kesalahan.
Hanya Pengadilan yang Menetapkan Bahwa Fraud Memang Terjadi -
Pemeriksa
fraud berupaya membuktikan fraud memang terjadi. Hanya pengadilan yang
mempunyai kewenangan untuk menetapkan hal itu. Di Amerika Serikat wewenang itu
ada pada pengadilan (majelis hakim) dan para jury.
Diatas
dikatakan: pemeriksa Fraud harus menolak memberikan pernyataan bahwa hasil
pemeriksaannya membuktikan tidak ada fraud. Disini harus ditegaskan: pemeriksa
fraud harus menolak memberikan pernyataan bahwa pemeriksanya membuktikan adanya
fraud.
Dalam
upaya menyelidiki adanya fraud, pemeriksa membuat dugaan mengenai apakah
seseorang bersalah (guilty) atau tidak (innocent). Bersalah atau tidaknya
seseorang merupakan dugaan atau bagian dari “teori”, sampai pengadilan
memberikan keputusannya.
Metodologi Investigatif
Kembali
ke contoh pembobolan bank diatas. Dalam pembobolan oleh perampok, identitas
perampok tidak diketahui dan ini yang ingin diungkapkan. Dalam penjarahan bank
oleh pejabatnya yang bersekongkol dengan pelanggan, identitas mereka bukan
masalahnya. Masalahnya adalah membuktikan apakah perbuatan mereka dapat
dianggap fraud.
Kemahiran si pemeriksa dalam
menguasai konsep keuangan dalam kasus yang dihadapinya dan kemampuannya menarik
kesimpulan dari penerapan konsep tersebut (secara benar atau menyimpang) akan
membantunya dalam mengungkapkan apakah perbuatan itu merupakan fraud (kejahatan
atau pelanggaran) menurut hukum. Dalam contoh L/C fiktif,si pemeriksa harus
memahami dengan baik segala seluk beluk (konsep) mengenai L/C dan celah-celah,
bahkan tipologi, dari kejahatan dengan modus operandi L/C fiktif.
Yang tidak kalah penting adalah
kemahiran si pemeriksa untuk menyampaikan konsep-konsep penting itu secara
sederhana, sehingga mudah dicerna oleh hakim yang harus memutus dan jaksa atau
pengacara pembela yang harus diyakinkan. Diagram yang menunjukkan arus uang
dari hasil kejahatan kepada pelaku yang merupakan otak kejahatan, merupakan
contoh dari kemampuan menyajikan sesuatu yang rumit secara sederhana.
Fraud Examiners
Manual (2006) menjelaskan predication sebagai berikut:
Predication adalah keseluruhan dari
peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau
berkaitan yang membawa seseorang yang cukup terlatih dan berpengalaman dengan
kehati-hatian yang memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah, sedang atau
akan berlangsung. Predication adalah dasar untuk memulai investigasi.
Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan tanpa adanya predication
yang tepat.
Setiap
investigasi dimulai dengan keinginan atau harapan bahwa kasus ini berakhir
dengan suatu litigasi. Padahal ketika memulai investigasi, pemeriksa belum
memiliki bukti yang cukup. Ia baru mempunyai dugaan atas dasar predication yang
dijelaskan di atas. Keadaan ini tidak berbeda dengan ilmuwan yang membuat
“dugaan” atas dasar pengamatannya terhadap berbagai fakta, kemudian “dugaan”
ini diujinya. Seperti hipotesis yang harus diuji oleh seorang ilmuwan,
pemeriksa fraud membuat teori tentang bagaimana fraud itu terjadi selanjutnya
akan disebut teori fraud. Teori ini tidak lain dari rekaan atau perkiraan yang
harus dibuktikan.
Investigasi
dengan pendekatan teori fraud meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
·
Analisis data yang tersedia
·
Ciptakan (atau kembangkan) hipotesis berdasarkan
analisis di atas
·
Uji atau test hipotesis tersebut
·
Perhalus atau ubah hipotesis berdasarkan hasil
pengujian sebelumnya.
Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana
Pembahasan
mengenai pemeriksaan fraud di atas adalah dari kaidah-kaidah auditing. Istilah
yang digunakan dalam pembahasan sebelumnya adalah istilah auditing. Padahal
pemeriksaan fraud dimaksudkan untuk pembuktian di pengadilan. Idealnya,
pendekatan auditing dan hukum berjalan seiring. Namun, latar belakang kedua
bidang ilmu ini berbeda.
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) mengatur tahapan hukum acara pidana sebagai
berikut:
1.
Penyelidikan
2.
Penyidikan
3.
Penuntutan
4.
Pemeriksaan di sidang pengadilan
5.
Putusan pengadilan
6.
Upaya hukum
7.
Pelaksanaan putusan pengadilan
8.
Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan
Tahap
1(penyelidikan) sampai dengan Tahap 6 (Upaya Hukum) merupakan satu rangkaian
pemeriksaan yang merupakan upaya pembuktian. Hal ini dijelaskan dalam setiap
tahap dari Tahap 1 sampai dengan Tahap 6.
Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian
kegiatan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu perbuatan yang diduga
merupakan tindak pidana guna menentukan dapat/tidaknya penyelidikan dilakukan.
Penyelidikan tidaklah berdiri
sendiri atau terpisah dari penyidikan, melainkan merupakan satu rangkaian yang
mendahului tindakan penyidikan lainnya, yakni penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan.
Penyelidik
mempunyai wewenang sebagai berikut:
·
Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya
dugaan tindak pidana
·
Mencari keterangan dan barang bukti
·
Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
Atas
perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:
·
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan;
·
Pemeriksaan dan penyitaan surat;
·
Membawa dan menghadapkan seseorang kepada
penyidik.
Wewenang penyelidik seperti mencari keterangan dan
barang bukti sudah memasuki ruang lingkup pembuktian. Kalau keterangan yang
diperoleh dari beberapa orang saling bersesuaian satu sama lain, apalagi kalau
ada keterkaitan dengan barang bukti yang ditemukan, maka penyelidik dapat
menduga telah terjadi suatu tindak pidana. Selanjutnya penyidikan dapat
dilakukan.
Apabila Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) melakukan penyelidikan dan dari penyelidikan itu tidak ditemukan
sekurang-kurangnya dua bukti, maka penyelidik melaporkan kepada KPK untuk
menghentikan penyelidikan. Sedangkan apabila Kejaksaan dan Kepolisian yang
melakukan penyelidikan, tidak dikenal penghentian penyelidikan. Dalam hal
penyelidik (Kejaksaan dan Kepolisian) berpendapat perbuatan tersebut bukan
merupakan tindak pidana maka penyelidikan tidak dilanjutkan, tanpa proses.
Penyidikan
Penyidikan
adalah serangkaian kegiatan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi untuk menemukan
tersangkanya. Untuk mencari dan mengumpulkan bukti, undang-undang memberi
wewenang kepada penyidik untuk:
·
Menggeledah dan menyita surat dan barang bukti.
·
Memanggil dan memeriksa saksi, yang
keterangannya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan saksi.
·
Memanggil dan memeriksa tersangka, yang
keterangannya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka.
·
Mendatangkan ahli untuk memperoleh keterangan
ahli yang dapat juga diberikan dalam bentuk laporan ahli.
·
Menahan tersangka, dalam hal tersangka
dikuatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi
melakukan tindak pidana.
Apabila dari bukti-bukti yang terkumpul diperoleh
persesuaian antara yang satu dengan yang lainnya, dan dari persesuaian itu
diyakini bahwa memang telah terjadi tindak pidana dan tersangka itulah yang
melakukannya, maka penyidik menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum. Hasil penyidikan ini tertuang dalam berkas perkara yang didalamnya
terdapat bukti-bukti.
Dalam hal Penyidik (Kepolisian atau Kejaksaan)
berpendapat bahwa dari bukti-bukti yang dikumpulkan secara maksimal ternyata
tidak cukup bukti atau terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana (korupsi)
maka mereka berwenang menghentikan penyidikan. KPK tidak dibenarkan
menghentikan penyidikannya, karena kewenangannya ada pada penghentian
penyelidikan.
Prapenuntutan –
Prapenuntutan adalah tindakan jaksa
(Penuntut Umum) untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti
kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta
memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah
berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
Penuntut Umum tidak akan menerima
berkas perkara hasil penyelidikan yang buktinya tidak lengkap. Karena bukti ini
akan dijadikan alat bukti di sidang pengadilan untuk membuktikan tindak pidana
yang didakwakan. Di tahap prapenuntutan, pembuktian merupakan focus utama dalam
meneliti berkas perkara hasil penyidikan.
Penuntutan –
Penuntutan
adalah tindakan Penuntut Umum yang melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri
yang berwenang, sesuai dengan cara yang diatur dalam hukum acara pidana, dengan
permintaan agar diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.
Setelah Penuntut Umum menerima atau
menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera
menentukan apakah berkas perkara itu sudah/ belum memenuhi syarat untuk
dilimpahkan ke pengadilan.
Pemeriksaan di pengadilan –
Seperti pada tahap-tahap sebelumnya,
acara pemeriksaan di sidang pengadilan utidak lain berkenaan dengan pembuktian.
Bukti-bukti yang diperoleh di tingkat penyidikan diperiksa kembali di sidang
pengadilan untuk dijadikan alat bukti:
·
Saksi-saksi yang telah diperiksa oleh penyidik
dipanggil kembali ke sidang pengadilan untuk memperoleh alat bukti keterangan
saksi.
·
Tersangka yang sudah diperiksa di tahap
penyidikan, diperiksa kembali disidang pengadilan, untuk mendapat alat bukti
keterangan terdakwa.
·
Ahli yang telah memberikan keterangan di
penyidikan atau yang telah membuat laporan ahli, dipanggil kembali untuk didengar
pendapatnya atau dibacakan laporannya di sidang pengadilan, agar diperoleh alat
bukti keterangan ahli.
·
Surat dan barang bukti yang telah disita oleh
penyidik diajukan ke sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti surat dan
petunjuk.
Itulah
cara memperoleh alat bukti di sidang pengadilan. Hanya alat bukti yang sah yang
diperoleh di sidang pengadilan, yang dapat meyakinkan hakim tentang kesalahan
terdakwa. Alat bukti yang sah ini terdiri atas:
·
Keterangan saksi
·
Keterangan ahli
·
Surat
·
Keterangan terdakwa
·
Petunjuk
Pemeriksaan di sidang pengadilan
mempunyai satu tujuan saja, yaitu mencari alat bukti yang membentuk keyakinan
hakim tentang bersalah atau tidaknya terdakwa.
Putusan Pengadilan -
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah. Kesalahan terdakwa ditentukan oleh keyakinan
hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan atas sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, yang harus ada persesuaian satu dengan yang lain.
Berdasarkan alat bukti yang
diperoleh di sidang pengadilan, hakim menjatuhkan putusan:
·
Putusan pemidanaan, apabila pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
·
Putusan bebas, apabila pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
·
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana atau
terbukti akan tetapi terdakwa tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya.
Upaya Hukum –
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau
penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan
atau banding atau kasasi, atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali, atau hak Jaksa Agung untuk mengajukan kasasi demi
kepentingan hukum dalam hal seta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Upaya hukum ada dua macam, yaitu
Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum Luar Biasa. Upaya Hukum Biasa terdiri atas
Pemeriksaan Tingkat Banding dan Pemeriksaan Kasasi. Upaya Hukum Luar Biasa
Terdiri atas Pemeriksaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bukti Dan Pembuktian – Auditing Dan Hukum
Dari penjelasan di bagian terdahulu,
jelas bahwa keenam tahapan dalam KUHAP (mulai tahap Penyelidikan sampai Tahap
Upaya Hukum baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa) berkenaan
dengan pembuktian. Juga penjelasan Mengenai Fraud Theory tidak lain dari proses
mengumpulkan bukti yang dapat diterima di pengadilan.
Para auditor yang berlatar belakang
pendidikan akuntansi mengenal istilah bukti audit. Mereka bahkan mengira bahwa
pengertian bukti dalam auditing sama dengan pengertian yang digunakan di
pengadilan atau dalam bidang hukum.
Tabel 12.1
Comparative Classification of Evidence In Two
Fields
Significant
Characteristics
|
Law
|
Auditing
|
Special
purpose of area to which evidence is pertinent
Subject
matter to which evidence is pertinent
Method
of collection or development
Role
of judgement-maker in collection or development
Nature
of rules governing the study of evidence
Importance
of time in judgement formation and evidence collection
Compulsiveness
of evidence in judgement formation
|
Maintenance
of justice
Occurrences
at given times and places
Presentation
by opposing parties
Rational
deduction and inference
Passive
Logical
presumptions
Rules
of admissibility and relevance
A
controlling factor
Persuasive
|
Protection
of statement readers
Financial
Statement propositions
Submission
by interested and disinterested parties
Collected
and developed by independent party
Rationalization
Both
positive and passive
Professional
standards
A
controlling factor
Varies
from absolute to persuasive
|
Dalam bidang mereka sendiri para
akuntan dan auditor di Indonesia sering terkecoh dengan “bukti” dan sesuatu
yang mengandung unsur-unsur pembuktian (evidential matter).
Investigatif dengan Tehnik Audit
Kata “investigasi” dalam akuntansi
forensic umumnya berarti audit investigasi atau investgatif (investigative
audit). Karena itu secara alamiah, diantara beberapa tehnik investigasi ada
tehnik-tehnik yang berasal dari tehnik-tehnik audit (audit techniques).
Banyak auditor yang sudah berpengalamanpun, merasa ragu
untuk terjun dalam bidang investigasi. Padahal, tehnik-tehnik audit yang mereka
kuasai, memadai untuk dipergunakan dalam audit investigasi.
Tehnik audit adalah cara-cara yang
dipakai dalam mengaudit kewajaran penyajian laporan keuangan. Hasil dari penerapan
tehnik audit adalah bukti audit. Ada tujuh tehnik, yang dirinci dalam bentuk
kata kerja bahasa Indonesia, dengan jenis bukti auditnya dalam kurung (kata
benda bahasa Inggris), yakni:
1.
Memeriksa fisik (physical examination)
2.
Meminta konfirmasi (confirmation)
3.
Memeriksa dokumen (documentation)
4.
Reviu analitikal (analytic review atau analytical
review)
5.
Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditan
(inquiries of the auditee)
6.
Menghitung Kembali (reperformance)
7.
Mengamati (observation)
Kalau tehnik-tehnik audit itu diterapkan dalam audit
umum, maka bukti audit yang berhasil dihimpun akan mendukung pendapat auditor
independent. Dalam audit investigative, tehnik-tehnik audit tersebut bersifat
eksplorative, mencari “wilayah garapan”, atau probing (misalnya dalam reviu
analitikal) maupun pedalaman (misalnya dalam confirmation dan documentation).
Tehnik-tehnik audit relative sederhana untuk diterapkan
dalam audit investigative. Sederhana, namun ampuh. Tema kesederhanaan dalam
pemilihan tehnik audit (termasuk audit investigative).
Tehnik-Tehnik Audit
Ada tehnik audit yang lebih dekat
kepada praktek investigasi perpajakan dan organized crime(seperti Net Worth
Method dan Expenditure Method); Ada juga tehnik audit seperti Follow the Money,
yang mempunyai unsure pencucian uang dalam tindak pidananya yang berkaitan erat
dengan naluri penjahat dan sangat dipengaruhi oleh teknologi informasi dalam
pengungkapannya.
Meskipun semua(tujuh) tehnik audit
yang disebutkan pembahasan akan berfokus pada reviu analitikal.
Memeriksa Fisik dan Mengamati
Memeriksa fisik atau physical
examination lazimnya diartikan sebagai penghitungan uang tunai (baik dalam mata
uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan barang, aktiva
tetap, dan barang berwujud (tangible assets) lainnya.
Mengamati sering diartikan sebagai
pemanfaatan indera kita untuk mengetahui sesuatu. Kalau kita melakukan
kunjungan pabrik, kita melihat luasnya pabrik, peralatan yang ada, kegiatan
yang dilakukan, banyaknya dan beragamnya tenaga kerja. Kita juga mendengar
sesuatu, mungkin sesuatu yang wangi (seperti di pabrik parfum, aromatic, obat,
dan lain-lain) atau bahkan bau yang menyengat (misalnya ditempat penyamakan
kulit atau tempat pengolahan sampah). Kita bisa mencicipi,misalnya dipabrik
yang menghasilkan makanan. Kita merasa suhu panas atau dingin ditempat kerja.
Singkatnya, mengamati adalah menggunakan indera, bisa salah satu atau beberapa
indera sekaligus.
Dalam kedua tehnik ini investigator
menggunakan inderanya, untuk mengetahui atau memahami sesuatu. Dari beberapa
contoh dibawah, kita melihat berbagai tingkat pemahaman yang bisa diperoleh
dari pengamatan dan pemeriksaan fisik:
·
Dari kunjungan ke lokasi yang terkena dampak
semburan Lumpur panas di Porong, Sidoarjo tahun 2006, investigator menyaksikan sendiri
apa yang terjadi dan luasnya musibah. Ini salah satu pemahaman. Investigator
mempunyai “bayangan”. Pemahaman ini penting ketika nantinya ia membaca laporan
para ahli secara rinci tentang luasnya kerusakan dan besarnya kerugian.
·
Dari kunjungan ke wilayah yang terkena gempa,
para relawan dan petugas dari dinas Sosial dapat menentukan jumlah kilometer
jalan, rumah, sekolah, rumah ibadah, kantor, pabrik, dan lain-lain yang rusak.
Pemahaman ini lebih dalam dari “bayangan” mengenai intensitas kerugian akibat
semburan Lumpur panas tadi. Disini ada data kuantitatif.
Meminta Informasi dan Konfirmasi
Meminta
informasi baik lisan maupun tertulis kepada auditan, merupakan prosedur yang
biasa dilakukan auditor. Pertanyaannya, apakah dalam investigasi hal itu perlu
dilakukan? Apakah sebaiknya kita tidak meminta informasi, supaya yang diperiksa
tidak mengetahui apa yang kita cari? Yang bersangkutan juga mempunyai
kepentingan dan peluang untuk berbohong.
Seperti dalam audit juga dalam
investigatif, permintaan informasi harus dibarengi, diperkuat, atau
dikolaborasi dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat (substantiated)
dengan cara lain. Permintaan informasi sangat penting, dan juga merupakan
prosedur yang normal dalam suatu
investigatif.
Meminta konfirmasi adalah meminta
pihak lain (dari yang diinvestigasi) untuk menegaskan kebenaran atau tidak
keebenaran suatu informasi. Dalam audit, tehnik ini umumnya diterapkan untuk
mendapat kepastian mengenai saldo utang-piutang. Tapi sebenarnya ia dapat
diterapkan untuk berbagai informasi, keuangan maupun non keuangan.
Memeriksa Dokumen
Tehnik ini tidak memerlukan
pembahasan khusus. Tak ada investigasi tanps pemeriksaan dokumen. Hanya saja,
dengan kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi luas, termasuk informasi
yang diolah, disimpan dan dipindahkan secara elektronis/digital.
Reviu Analitikal
Dalam reviu analitikal yang penting
bukannya perangkat lunaknya, tetapi semangatnya, Pada dasarnya seorang
invvestigator secara intuitif terobsesi dengan “sesuatu yang melenceng” dan
bahwa “something must be wrong because it appears so”. Karena itu ia memerlukan
patokan atau benchmark untuk membandingkannya dengan apa yang dihadapinya.
Patokan inilah yang dirumuskan Stringer dan Stewart sebagai results that may
reasonably be expected.
Misalnya kita sedang menginvestigasi
suatu bank yang berkewajiban memungut pajak penghasilan atas bunga yang
diperoleh nasabahnya. Apakah bank menyetorkan pajak penghasilan ini sesuai
ketentuan, baik dalam jumlah maupun waktu penyetoran? Apakah investigasi ini
harus dimulai di cabang-cabang atau kantor-kantor perwakilan? Menurut reviu
analitikal,tidak.
Kita mulai dengan mencocokkan
angka-angka agregat. Pertama, kita tentukan jumlah pajak penghasilan yang sudah
disetorkan untuk bank secara keseluruhan (Kantor Pusat dan Cabang-cabang),
menurut pembukuan bank itu. Selanjutnya, ini adalah hasil perkalian antar tarif
pajak (misal 10 %) dengan jumlah bunga yang dibayarkan bank itu kepada kepada
para nasabahnya. Perbedaan antara data A dengan data B bisa merupakan perbedaan
waktu (timming difference) saja. Yakni, perbedaan antara saat memotong dan saat
menyetor pajak penghasilan. Timming difference ini juga mudah dialokasi.
Tetapi mungkin juga ada perbedaan
yang bersifat tetap (permanent difference) misalnya dalam hal deposan dalam
negeri yang mendapat pembebasan pajak penghasilan dan deposan di cabang-cabang
luar negeri dimana bank tidak berkewajiban memungut pajak penghasilannya.
Perbedaan ini mudah diketahui karena umumnya jumlah deposan dalam negeri yang
dibebaskan, tidak banyak. Sedangkan untuk deposan di cabang-cabang diluar
negeri, kita mengabaikan seluruh data bunga luar negeri (bagian dari data B
semula).
Dengan contoh ini, mari kita saji
definisi reviu analitikal diatas: a form of deductive reasoning in which the
propriety of the individual details is inferred from evidence of the
reasonableness of the aggregate results. Kiita haeus memulai dari belakang.
Pertama, evidence of the reasonbleness of the aggregate of the results; ini
diperoleh dari data B yang diadjust untuk deposan dalam negeri yang
dikecualikan pemungutan pajak penghasilannya dan bunga di cabang-cabang luar
negeri.
Kedua, a form of deductive
reasoning. Di sinin kita membuat deduksi dari data agregat, data global, data
menyeluruh, yang dalam hal ini adalah data A dan data B. Deduksi ini berkenaan
dengan the proprierty of the individual details. Individual details disini
adalah pemungutan dan penyetoran pajak penghasilan oleh bank secara transaksi
demi transaksi, cabang demi cabang, atau mungkin per pejabat bank sesuai dengan
kewenangannya. Kita “think ananlytical first”, dan tidak langsung terjun dan
menyibukkan diri dengan detailed substantive test.
Ada bermacam-macam variasi dari
tehnik reviu analitical, namun semuanya didasarkan atas perbandingan antara apa
yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi, dan berusaha menjawab
sebabnya tterjadi kesenjangan. Apakah ada kesalahan (error), fraud, atau salah
merumuskan patokannya.
Membandingkan anggaran dengan realisasi –
Membandingkan
data anggaran dan realisasi dapat mengindikasikan adanya fraud. Yang perlu
dipahami di sini adalah mekanisme pelaksanaan anggaran, evaluasi atas
pelaksanaan anggaran, dan insentif (keuangan maupun non keuangan) yang
terkandung dalam sistem anggarannya.
Dalam entitas yang merupakan profit
center atau revenue center, pejabat tertentu menerima insentif (bonus) sesuai
dengan “keberhasilan” yang diukur dengan pelampauan anggaran. Investigator
perlu mengantisipasi kecenderungan realisasi penjualannya dibuat tinggi
(overstated). Penjualan kredit dan pengiriman barang secara besar-besaran pada
akhir tahun merupakan indikasi mengenai hal itu. Pengembalian barang sesudah
akhir tahun memperkuat indikasi adanya fraud.
Hubungan
antara satu data keuangan dengan data keuangan lain–
Beberapa akun, baik dalam suatu
maupun beberapa laporan keuangan, bisa mempunyai keterkaitan yang dapat
dimanfaatkan untuk reviu analitikal. Contoh: angka penjualan dengan piutang dan
persediaan rata-rata, angka penjualan dengan bonus bagian penjualan,
penghasilan bunga dengan saldo rata-rata tabungan dan seterusnya.
Menggunakan data non keuangan –
Inti dari reviu analitikal adalah
mengenal pola hubungan, relationship pattern. Pola hubungan ini tidak mesti
hanya antara satu data keuangan dengan data keuangan lain. Pola hubungan non
keuanganpun bisa bermacam-macam bentuknya.
Dalam bisnis perkebunan ada hubungan
antara jumlah pupuk yang dipergunakan dengan hasil produksi atau panen; angka
masukan maupun keluaran dinyatakan dalam satuan non keuangan, seperti jumlah
ton untuk pupuk dan sawit.
Di pabrik gula ada ukuran antara
jumlah ton tebu yang masuk ke pabrik dan jumlah ton gula yang dihasilkan. Pola
hubungan antara masukan dan keluaran ini dinyatakan dalam suatu ratio yang
dalam industri gula dikenal sebagai rendemen. Perhitungan serupa kita lihat di
industri kayu lapis atau blackboard, dengan nama recovery.
Bermacam ratio kita gunakan untuk
berbagai industri. Bahkan industri-industri atau perusahaan pemeringkat
mengembangkan dan menyebarkan industry ratios.
Perusahaan penerbangan Garuda
mendapatkan hasil yang sangat signifikan dari perjalanan haji. Data yang
penting, jumlah calon haji yang diterbangkan, dapat diperoleh dari sumber
intern maupun ekstern Garuda.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
di konsulat-konsulat kita diluar negeri, mempunyai hubungan linier dengan
banyaknya visa yang diterbitkan.
Reviu analitikal sering dilakukan
dengan hitungan cepat untuk menunjukkan keganjilan. Seorang bankir mencatat
informasi yang diterimanya dari calon nasabah kreditnya. Dengan cepat ia
menetukan bahwa pabrik pulp berkapasitas besar dilokasi yang terisolasi, tidak
akan bisa beroperasi karena bahan bakunya tidak akan cukup. Semua data untuk
membuat kesimpulan itu ia peroleh selama makan siang dengan calon debiturnya.
Regresi atau Analisis Trend -
Dengan data
historikal yang memadai(makin banyak makin baik, ceteris paribus), reviu
analitikal dapat mengungkapkan trend. Berbagai perangkat lunak mempermudah
hitungan dan grafiknya, misalnya STAR.
Menggunakan indikator ekonomi makro –
Ada hubungan antara besarnya pajak
penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun dengan indikator-indikator ekonomi
seperti inflasi, tingkat pengangguran, cadangan devisa, indikator ekonomi
negara-negara yang menjadi partner perdagangan Indonesia, hargaminyak mentah
dan komoditi lain, dan lain-lain. Ini merupakan bidang studi yang ditekuni para
ahli ekonomi makro dan ekonometri.
MENGHITUNG KEMBALI
Menghitung
kembali atau repeform tidak lain dari mencek kebenaran perhitungan (kali, bagi,
tambah, kurang, dan lain-lain). Ini prosedur yang sangat lazim dalam audit.
Biasanya tugas ini diberikan kepada seseorang yang baru mulai bekerja sebagai
auditor; seorang junior auditor di kantor akuntan.
Dalam investigatif, perhitungan yang
dihadapi umumnya sangat kompleks, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang
rumit, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegoisasi berkali-kali dengan
pejabat(atau kabinet) yang berbeda. Perhitungan ini dilakukan atau disupervisi
oleh investigator yang berpengalaman.
Beberapa contoh penghitungan kembali
semacam itu yang berpotensi triliunan rupiah:
·
Kasus penyelesaian kewajiban pemegang saham
menurut Keputusan Menteri Keuangan nomor 151/KMK.01/2006 tanggal 16 Maret 2006
mensyaratkan penetapan jumlah kewajiban berdasarkan data terakhir.
·
Perhitungan cost recovery oleh kontraktor bagi
hasil (Production Sharing Contractor). Cost recovery ini sangat besar
jumlahnya. Kalau tidak dihitung kembali oleh counterpart PSC atau lembaga
pemeriksa independen, cost recovery rawan penyalahgunaan.
·
Biaya yang dikeluarkan BUMN yang mempunyai
kewajiban memberikan pelayanan umum (public Service Obligation). Keterlambatan
pembayaran PSO mempunyai dampak yang besar terhadap likuiditas BUMN yang
bersangkutan.
Investigatif Dengan Tehnik Perpajakan
Investigatif
dengan tehnik perpajakan menggunakan dua tehnik yang secara luas dipraktekkan
oleh IRS (Internal Revenue Services) di Amerika Serikat. Kedua tehnik
investigasi ini digunakan untuk menentukan panghasilan kena pajak (PKP) yang
belum dilaporkan oleh wajib pajak dalam SPT-nya. Penerapan tehnik-tehnik ini
terus berkembang, sehingga menjadi umum digunakan dalam memerangi organized
crime.
Kedua tehnik investigatif ini adalah
Net Worth Method dan Expenditure Method. Keduanya menggunakan logika pembukuan
atau akuntansi yang sederhana. IRS menggunakannya sebagai bukti tidak langsung
(circumstantial evidence). Tehnik ini menggeser beban pembuktian dari
negara/fiskus kepada wajib pajak. Perlindungan hak wajib pajak diperlukan
karena pergeseran beban pembuktian tersebut diatas.
NET WORTH METHOD
Net
worth method diterapkan oleh kantor pajak Amerika Serikat (IRS). Pemakaiannya
bisa ditelusuri kembali ke tahun 1931 ketika IRS berhasil menjaring Al(fonso)
Capone. Sejak Congress mengundangkan RICO Act pada tahun 1970, penggunaannya
diperluas untuk menemukan indikasi illegal income dari organized crime
(kejahatan yang diorganisasi seperti Mafia,Triad, dan lain-lain).
Net worth method untuk investigasi
pajak ingin membuktikan adanya PKP yang belum dilaporkan oleh wajib pajak.
Untuk organized crime yang ingin dibuktikan adalah terdapatnya penghasilan yang
tidak sah, melawan hukum, atau illegal income.
Net Worth Method untuk Perpajakan -
Di Amerika Serikat di mana Net Worth
Method diterima sebagai cara pembuktian tidak langsung, dasar penggunaannya
adalah kewajiban wajib pajak untuk melaporkan semua penghasilannya (sebagaimana
didefinisikan oleh undang-undangnya) dalam tax returns mereka. Ketentuan serupa
juga berlaku di Indonesia di mana wajib pajak diwajibkan penghasilannya secara
lengkap dan benar dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan, dalam hal ini SPT
PPh).
Pemeriksa pajak menetapkan net worth
atau kekayaan bersih pada awal tahun. Ini diperoleh dari pengurangan seluruh
assets seseorang dengan seluruh liabilities-nya. Jadi di awal tahun
tertentu,sebutlah Tahun-1, net worth = assets-lialibilities. Hal yang sama
dilakukan untuk menentukan net worth Tahun-2.
Selanjutnya, net worth Tahun-1
dibandingkan dengan net worth tahun-2. perbandingan ini akan menghasilkan
kenaikan net worth (net worth increase) yang seharusnya sama dengan PKP untuk
tahun-2. Karena itu kenaikan net worth ini dibandingkan dengan penghasilan yang
dilaporkan dalam SPT PPh tahun-2.
Net Worth Method untuk organized crime -
Dengan rumus yang hampir sama, kita
dapat menentukan illegal income. Seperti disebutkan tadi, di Amerika Serikat
metode ini digunakan dalam memerangi organized crime. Di Indonesia pendekatan
ini dapat digunakan untuk memerangi korupsi. Ketentuan perundang-undangannya
sudah ada, yakni laporan mengenai kekayaan pejabat.
Legal income adalah semua
penghasilan yang dilaporkan yang bersangkutan. Inilah yang dibandingkan dengan
net worth increase (sesudah di-adjust dengan personal expenses) untuk
menentukan illegal income.
EXPENDITURE METHOD
Sebagaimana
halnya dengan Net Worth yang dijelaskan, penerapan Expenditure Method juga
dipelopori IRS. Expenditure Method yang merupakan derivasi atau turunan dari
net worth method digunakan IRS sejak tahun 1940an. Ketika RICO Act diundangkan
dalam tahun 1970, Expenditure Method dimanfaatkan sebagai petunjuk organized
crime. Expenditure Method juga merupakan cara pembuktian tidak langsung.
Seperti Net Worth Method,
Expenditure Method juga dimaksudkan untuk menentukan unreported taxable income.
Expenditure Method lebih cocok untuk para wajib pajak yang tidak mengumpulkan
harta benda, tetapi mempunyai pengeluaran-pengeluaran besar (mewah).
Expenditure Method lebih populer
dari Net Worth Method, karena Expenditure Method lebih mudah dibuat atau
dihitung, dan juga lebih mudah dimengerti oleh orang awam. Mahkamah Agung di
Amerika Serikat tidak menetapkan Expenditure Method secara khusus sebagai alat
pembuktian, karena Expenditure Method dianggap derivasi atau turunan dari Net
Worth Method. Seorang akuntan harusnya mampu menghitung unreported taxable
income berdasarkan Net Worth Method akan mengkonversikannya ke Expenditure
Method.
Expenditure Method harusnya
digunakan untuk kasus-kasus perpajakan apabila kondisi-kondisi berikut sangat
kuat atau dominan:
- Wajib pajak tidak menyelenggarakan pembukuan atau
catatan.
- Pembukuan dan catatan wajib pajak tidak tersedia,
misalnya karena terbakar.
- Wajib pajak menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak
memadai.
- Wajib pajak menyembunyikan pembukuan.
- Wajib pajak tidak mempunyai assets yang terlihat atau
dapat diidentifikasi.
Expenditure Method harusnya digunakan untuk
kasus-kasus organized crime apabila kondisi-kondisi berikut sangat kuat atau
dominan:
1.
Tersangka kelihatannya tidak membeli asset seperti
rumah, tanah, saham, perhiasan, mobil atau kapal mewah, dan seterusnya.
2.
Tersangka mempunyai gaya hidup mewah dan agaknya diluar
kemampuannya.
3.
Tersangka diduga mengepalai jaringan kejahatan, atau
semua saksi yang memberatkan dia adalah para penjahat yang sudah dijatuhi
hukuman.
4.
Illegal income harus ditentukan untuk menghitung denda
(misalnya dalam kejahatan penebangan hutan ilegal), menghitung kerugian negara
(dalam kasus korupsi), dan pungutan negara lainnya.
Expenditure
Method adalah derivasi dari Net Worth Method. Namun, perlakuan terhadap asset
dan liabilities-nya berbeda. Misalnya, dalam Net Worth Method penyidik akan
mencantumkan saldo akhir kas dan bank. Dalam Expenditure Method, hanya
perubahannya yang diambil (kenaikan atau penurunan kas dan bank). Hal yang sama
juga berlaku untuk persediaan barang, piutang, utang, dan pinjaman bank.
Depresiasi, amortisasi, deplesi, deffered gains, dan semacamnya juga diabaikan
dalam Expenditure Method ini sebenarnya merupakan hal yang elementer untuk
seorang akuntan.
FOLLOW THE MONEY
Pertama
kita akan melihat naluri penjahat. Tanpa disadarinya, nalurinya ini akan
meninggalkan jejak-jejak berupa gambaran mengenai arus uang. Jejak-jejak uang
atau money trails inilah yang dipetakan oleh penyidik.
Ketentuan perundang-undangan
mengenai tindak pidana pencucian uang menginagtkan kita bahwa bukan kejahatan
utamanya saja (seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan barang dan manusia,
pencurian, prostitusi, terorisme, dan lain-lain) yang merupakan tindak pidana,
tetapi juga pencucian uangnya adalah tindak pidana.
Uang sangat cair/likuid, mudah
mengalir. Itulah sebabnya Follow The Money mempunyai banyak peluang untuk
digunakan dalam investigatif. Namun, mata uang kejahatan atau currency of crime
bukanlah uang semata-mata. Mengetahui currency of crimeakan membuka peluang
baru untuk menerapkan tehnik Follow The Money.
Naluri Penjahat
Dalam
setiap kejahatan pada umumnya, dan fraud khususnya, ada suatu gejala yang
sangat lumrah, yakni pelaku berupaya memberi kesan bahwa ia tidak terlibat
fraud. Untuk itu, pelaku “harus jauh” dari fraud itu sendiri dan “harus jauh”
dari uang yang merupakan hasil kejahatan. Itulah sebabnya, salah satu aksioma
dalam fraud ialah fraud is hidden atau fraud itu tersembunyi.
Di lain pihak, motive dari perbuatan
fraud itu sendiri pada umumnya, adalah mendapatkan uang. Kalaupun bukanitu
motive-nya ada aliran uang ke diri pelaku(atau keluarganya).pada akhirnya ada
arus uang atau dana dari “tempat persembunyian” atau “tempat penitipan” yang
mengalir ke alamat sipelaku utama.
Jejak-jejak kejahatan, dalam hal
ini, berupa arus uang. Karena itu, dalam mencari pelaku, investigator
menelusuri jejak-jejak uang ini. Tehnik investigatif yang menelusuri arus dana
dan mencari muaranya, disebut Follow The Money.
Kriminalisasi dari pencucian uang
Pola
perilaku pelaku kejahatan dengan “menjauhkan” uang dari pelaku dan perbuatannya
dilakukan melalui cara placement, layering, dan integration. Tindak perbuatan
ini denga tegas diperlakukan serbagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003.
Dengan diperlakukannya pencucian
uang sebagai tindak pidana (kriminalisasi dari pencucian uang), maka banyak
kasus kejahatan (termasuk tindak pidana korupsi) dapat diproses (pengadilan)
melalui kejahatan utamanya dan melalui pencucian uangnya.
Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan lembaga yang penting untuk mengungkapkan
pelaku-pelaku dengan menelusuri laporan-laporan dari berbagai sumber, tanpa
harus membuktikan kejahatan utamanya.
Follow The Money dan Data Mining
Tehnik
investigasi ini sebenarnya sangat sederhana. Kesulitannya adalah datanya sangat
banyak dalam hitungan terabytes. Kita tidak bisa mulai dengan pelakunya, yang
kita ingin kita lihat justru adanya pola-pola arus dana yang menuju ke suatu
tempat (yang memberi indikasi tentang pelaku atau otak kejahatan).
Disamping kerumitan karena data yang
begitu besar, juga diperlukan kecermatan dan persistensi dalam mengumpulkan
bahan-bahannya. Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi,
memfasilitasi proses ini.
Mata Uang Kejahatan
Ciri
dari penggunaan currency of crime yang bukan berupa uang adalah izin-izin atau
lisensi untuk akses ke sumber-sumber daya alam yang umumnya dialokasikan kepada
keluarga dan kerabat sang diktator.
Dalam hal itu currency of crime- nya
bisa berupa intan berlian, minyak bumi, pasir laut, kayu bundar (logs), ganja,
dan lain sebagainya. Di sini ada dua arus yang bisa diikuti investigator, yakni
arus dana dan arus fisik barang. Arus fisik barang sering memberikan indikasi
kuat, karena adanya anomali. Contoh: data statistik resmi mengenai impor-ekspor
yang menunjukkan kesenjangan yang besar, antara data negara pengimpor dan
negara pengekspor.
Investigatif Tindak Pidana Korupsi
Tindak Pidana Korupsi (TPK) dilihat
dari ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia. Yang akan dipakai sebagai
acuan dalam pembahasan ini adalah Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
TPK. Untuk TPK yang dilakukan sebelum berlakunya undang-undang ini, yakni
tanggal 21 november 2001, berlaku Undang-Undang nomor 3 tahun 1971.
Analisis pasal-pasal TPK akan
menganalisis semua pasal yang mengandung TPK ke dalam unsur-unsurnya, bagian
inti atau bestanddeel. Pendekatan ini dipakai oleh penyelidik, penyidik, dan
jaksa penuntut umum.
Keberhasilan atau kegagalan suatu
investigatif TPK, di luar masalah penyuapan kepada penegak hukum, ditentukan
oleh kemampuan membuktikan bagian-bagian inti dan meyakinkan majelis hakim
dalam persidangan pengadilan.
Analisis Pasal-Pasal TPK
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mencakup 30
tindak pidana yang diartikan sebagai tindak pidana korupsi (TPK). Ini dapat
dilihat dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang berikut:
No.
|
Pasal
|
No.
|
Pasal
|
No.
|
Pasal
|
1.
|
2
|
11.
|
7
ayat (2)
|
21.
|
12
huruf f
|
2.
|
3
|
12.
|
8
|
22.
|
12
huruf g
|
3.
|
5
ayat (1) huruf a
|
13.
|
9
|
23.
|
12
huruf h
|
4.
|
5
ayat (1) huruf b
|
14.
|
10
|
24.
|
12
huruf i
|
5.
|
6
ayat (1) huruf a
|
15.
|
11
|
25.
|
12
B
|
6.
|
6
ayat (1)huruf b
|
16.
|
12
huruf a
|
26.
|
12
C
|
7.
|
7
ayat (1) huruf a
|
17.
|
12
huruf b
|
27.
|
13
|
8.
|
7
ayat (1) huruf b
|
18.
|
12
huruf c
|
28.
|
14
|
9.
|
7
ayat (1) huruf c
|
19.
|
12
huruf d
|
29.
|
15
|
10.
|
7
ayat (1) huruf d
|
20.
|
12
huruf e
|
30.
|
16
|
Pemeriksa memfokuskan investigasinya
pada pencarian indikasi-indikasi atau bukti awal dari masing-masing unsur atau
bagian inti TPK. Dengan meningkat dan mendalamnya investigasi, maka upaya
diarahkan kepada pengumpulan dan penyajian alat-alat bukti.
Karena itu, penting sekali bagi
pemeriksa untuk mengetahui bagian inti atau berstanddeel dari ke 30 TPK. Dalam
uraian pasal-pasal dan ayat-ayat yang mencangkup ke 30 TPK, berstanddeel ini
digaris bawahi. Pasal-pasal ini juga disertai dengan penjelasan
undang-undangnya.
Dalam dokumentasi investigasinya,
pemeriksa merinci semua indikasi dan alat bukti untuk masing-masing bagian inti
atau tindak pidana korupsi yang disangkakan atau didakwakan.
Beberapa Konsep Undang-Undang TPK
Dibawah ini ada catatan mengenai
beberapa konsep, baik yang secara umum dikenal dalam KUHP dan KUHAP, maupun
yang khas untuk TPK. Konsep-konsep itu adalah:
- Alat bukti yang sah
- Beban pembuktian terbalik
- Gugatan perdata atas harta yang disembunyikan
- Pemidanaan secara in absentia
- “Memperkaya” versus” Menguntungkan”
- Pidana mati
- Nullum delictum
- Concursus idealis
- Concursus realis
- Perbuatan berlanjut
- “Lepas dari tuntutan hukum” versus “ bebas”
Konsep ini dimaksudkan untuk membantu
investigator yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan hukum. Dalam
analisis kasus para investigator dapat melihat penerapan sebagian konsep-konsep
ini.
Analisis Beberapa Kasus Korupsi
Para akuntan forensik dapat menarik
pelajaran berharga dari pendapat dan komentar para ahli hukum, mengenai
kasus-kasus yang sudah ada putusan hakim. Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah adalah
seorang di antara ahli hukum pidana dan hukum secara pidana yang banyak menulis
tentang kasus-kasus korupsi.
Dalam bukunya, Profesor Andi Hamzah
secara rinci mencantumkan posisi dan analisis kasusnya. Analisis di bawah
merupakan ringkasan untuk menonjolkan hal-hal yang penting bagi akuntan
forensik. Para akuntan forensik sebaiknya mempelajari secara utuh dokumentasi
dari suatu kasus, yakni sejak surat dakwaan yang diajukan penuntut umum, sampai
kepada putusan Mahkamah Agung.
Kasus Samadikun Hartono
Penuntut
Umum mendakwa Samadikun Hartono (Presiden Komisaris PT Bank Modern Tbk),
bersama-sama dengan Bambang Trianto (
Presiden Direktur PT Bank Modern Tbk):
Dakwaan
Primair:
Secara
berlanjut melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan secara melawan hukum atau secara tidak patut menggunakan uang atau
menyalurkan sejumlah dana BLBI atau bertentangan dengan peruntukkannya yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan negara sebesar Rp
169.492.986.461,54
Dakwaan
Subsidair:
Dengan
perbuatan itu juga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan, yang langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menarik sekali apa yang dikatakan
Andi Hamzah mengenai putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam kasus
Samadikun Hartono, serta tragedi pada akhirnya:
Didalam pertimbangan Pengadilan
Negeri perbuatan terdakwa tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
melawan hukum karena itu, terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan baik yang
primair maupun yang subsidiair.
Nyata sekali kekeliruan hakim karena
pada dakwaan subsidiair yang terdakwa juga dibebaskan, tidak ada bagian inti
(bestandeel) melawan hukum, sehingga tidak perlu dibuktikan.
Kasus Djoko S. Tjandra
Djoko S. Tjandra melakukan kontrak
cessie dengan Rudi Ramli (Bank Bali). Karena perbuatan itu dilakukan pada tahun
1998, penuntut umum mendakwa Djoko Tjandra dengan pasal 1 ayat 1 huruf a dari
undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi nomor 3 tahun 1971.
Menurut
Andi Hamzah:
Kurang tepat mendakwa perbuatan
cessie sebagai merupakan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri.
Sehingga Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung membebaskan Djoko S. Tjandra, dengan
alasan perbuatan melakukan cessie adalah perbuatan perdata dan bukan pidana.
Yang menjadi soal sebenarnya adalah
mengapa pencairan uang hasil cessie itu berjalan dengan cepat dan mulus.
Mengapa kalau orang lain yang membuat cessie, hasil cessie-nya sulit dicairkan?
Jadi seharusnya Djoko S Tjandra didakwa memberi suap kepada pejabat negara dan
BPPN primair pasal 209 KUHP juncto pasal 1 ayat (1) huruf c undang-undang
3/1971;, subsidiair pasal 1 ayat (1) huruf d undang-undang 3/1971, yang
sekarang menjadi pasal 13 UU PTPK 1999.
Investigatif Pengadaan
Pengadaan merupakan salah satu
sumber korupsi terbesar dalam sektor keuangan publik. Tiap-tiap tahun BPK
maupun BPKP, melaporkan kasus pengadaan yang mengansung unsur tindak pidana
korupsi. Tidak banyak yang masuk ke persidangan pengadilan. Beberapa kasus
pengadaan yang berhasil diselesaikan di pengadilan, membuyarkan legenda bahwa
mark-up “hanya” 30%.
Cara-cara
investigasi yang dijelaskan di bawah, diterapkan dalam pengadaan yang
menggunakan sistem tender atau penawaran secara terbuka. Dalam sistem ini,
lazimnya ada tiga tahapan besar sebagai berikut:
- Tahap pra tender
- Tahap penawaran dan negoisasi
- Tahap pelaksanaan dan penyelesaian administratif
Auditor harus menguasai seluk-beluk
dan potensi fraud dalam setiap tahap. Yang dapat membantunya adalah
gejala-gejala yang sering muncul ke permukaan pada setiap tahap tersebut
diatas.
Standar
Secara sederhana, standar adalah
ukuran mutu. Karena itu dalam pekerjaan audit, para auditor ingin menegaskan
standar mereka. Dengan standar ini pihak yang diaudit (auditee), pihak yang
memakai laporan audit, dan pihak-pihak lain dapat mengukur mutu kerja si
auditor. Hal yang sama juga ingin dicapai para investigator dan forensic
accountant.
Standar
tersebut adalah:
- Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang
diakui
- kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian
sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima dipengadilan.
- Pastikan bahwa seluruh dokumentasi, dalam keadaan aman,
terlindungi dan diindeks; dan jejak audit tersedia.
- Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak azasi
pegawai dan senatiasa menghormatinya.
- Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya
melakukan kecurangan, dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai
tersebut, baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.
- Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh
target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
- Liput seluruh
tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan
bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan
mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol,
dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban
hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
Standar –1
Seluruh investigasi harus dilandasi
praktek-praktek terbaik yang diakui (accepted best practices).istilah best
practices sering dipakai dalam penetapan standar. Dalam istilah ini tersirat
dua hal. Pertama,adanya upaya membandingkan antara praktek-praktek yang ada
dengan merujuk kepada yang terbaikpada saat itu. Upaya ini disebut
benchmarking. Kedua,upaya benchmarking dilakukan terus menerus untuk mencari
solusi terbaik.
Standar-2
Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip
kehati-hatian (due care) sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima dipengadilan.
Bandingkan standar ini dengan nasehat kedua dari daviadi atas.
Standar-3
Pastikan bahwa seluruh dokumentasi
dalam keadaan aman, terlindungi, dan diindeks; dan jejak audit tersedia.
Dokumentasi ini diperlukan sebagai referensi apabila ada penyelidikan di
kemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi sudah dilakukan dengan benar.
Referensi ini juga membantu perusahaan dalam upaya perbaikan cara-cara
investigasi sehingga accepted best practices yang dijelaskan dapat
dilaksanakan.
Standar-4
Pastikan bahwa investigator mengerti
hak-hak azasi pegawai dan senantiasa menghormatinya. Kalau investigatif
dilakukan dengan cara yang melanggar hak azasi pegawai, yang bersangkutan dapat
menuntut perusahaan dan investigatornya. Bukti-bukti yang sudah dikumpulkan
dengan waktu dan biaya yang banyak, menjadi sia-sia.
Standar-5
Ingatlah bahwa beban pembuktian ada
pada perusahaan yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan, danpada
penuntut umumyang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukumadminstratif
dan pidana. Dalam kasus pidana di Amerika Serikat, beban pembuktian ini harus
beyond reasonable doubt atau “melampaui keraguan yang layak”.
Standar-6
Cakup seluruh substansi investigasi
dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
Dalam melaksanakan investigatif,
kita menghadapi keterbatasan waktu. Dalam menghormati azaspraduga tidak
bersalah, hak dan kebebasan seseorang harus dihormati.
Standar-7
Liput seluruh tahapan kunci dalam
proses investigatif, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti, dan barang bukti,
wawancara, kontak denganpihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat
rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan
catatan, keterlobatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai
pelaporan.